23 Januari 2012

Pencemaran Sungai Antang Kalang Kian Hari Bertambah Parah


Penelusuran saya waktu liburan akhir tahun 2011 lalu yaitu tepat tanggal 30 desember 2011, saya sangat kaget sekali melihat kondisi sepanjang DAS Antang Kalang yang kondisi kualitas air sangat buruk sekali sehingga tidak layak untuk diminum bahkan kosumsi sehari-hari sangat membahayakan dilihat dari tingkat kekeruhan, warna, kandungan zat besi, dan kandungan oksigen terlarut menyebatkan kondisi air Sungai Antang Kalang sudah berada di ambang batas.
Dilihat dari tingkat kekeruhan air sudah mencapai bahkan lebih dari 421 (Nefelometrik Turbidity Unit) NTU dari

5 NTU yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 907 tahun 2002 tentang Pengawasan Kualitas Air tersebut. Demikian juga dengan tingkat perubahan warna yang ditolerir sebesar 15 PTCO sudah berada pada angka 267 PTCO.
Pencemaran ini di sebabkan beberapa hal yang marak dilakukan oleh masyarakat maupun pembukaan lahan baru oleh beberapa perusahaan perkebunan yang berada di wilayah Antang Kalang. Sedangkan pengolahan tambang oleh masyarakat setempat berupa pencemaran limbah merkuri (air raksa) yang bersumber dari residu (ampas) pengolahan emas tradisional sepanjang DAS Mentaya hulu, Kecamatan Antang Kalang, Kotawaringin Timur, sudah mencemaskan.
Ribuan warga yang bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Antang Kalang itu kini terancam cacat fisik oleh limbah kimia berbahaya itu. Warga yang terpapar limbah merkuri, bahkan air sungai yang mereka konsumsi pun terkontaminasi air raksa itu meliputi ribuan penduduk yang mendiami wilayah Kecamatan Antang Kalang. Seluruh desa ini berada di sepanjang DAS Mentaya Hulu, sekitar 225 kilometer (km) dari ibu kota Palangka Raya.
Seiring dengan bertambahnya penambang emas tradisional, ini membuktikan makin ramai warga yang melakukan penambang emas secara tradisional di kawasan sungai Hulu Kalang yang langsung perbatasan wilayah Katingan Hilir. tempat pengolahan batu dan pasir yang mengandung emas (gelondongan) itu juga makin banyak. Para penambang biasanya menggelontorkan air raksa ke batuan dan pasir yang mengandung emas itu untuk memisahkan butiran emasnya. Butiran emas inilah yang dipadatkan dalam bentuk gelondongan, lalu dijual.
Jumlah tempat pengolahan emas tersebut kini sudah lebih dari 1.000 hingga 20.000 lebih, termasuk yang masih belum di data. Dengan demikian, perputaran uang di Wilayah Antang Kalang ini dari sektor pertambangan emas secara tradisional ini berkisar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per hari.
Akan tetapi, sebagaimana diakui M. Salim (42), warga Tumbang Kalang desa Antang Kalang, belum semua penambang emas, terutama penduduk lokal, memahami bahaya merkuri yang diguyurkan untuk memisahkan emas dari batuan dan tanah. Padahal, kasus kalau kita tengok kasus di Minamata, Jepang, dan Buyat di Minahasa, Sulawesi Utara, sedianya sudah cukup menjadi pelajaran berharga bahwa limbah merkuri memang sangat berbahaya.
Seharusnya, kata M. Salim ada pihak berkompeten yang memberikan pemahaman kepada para penambang itu tentang bahaya merkuri supaya penambang lebih protektif terhadap dirinya dan lingkungan. “Misalnya kepada para penambang diberikan arahan tentang cara menambang yang baik, ramah lingkungan, dan tidak sembarang membuang limbah merkuri, sehingga tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,” kata petugas kaur desa masyarakat Antang tersebut itu.
Tetapi inilah potret negeri kita yang lagi-lagi alasan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup tanpa memikirkan dampak lingkungan sekitarnya. Sedangkan pemerintah seolah-olah tidak tahu menahu persoalan ekonomi masyarakat setempat yang sangat tergantung dari pemamfaatan alam.

1 komentar: